Saatnya Hatiku Pulang

Tiiing.. Terdengar bunyi bel nyaring dari laptop di hadapanku. Astaghfirullah, aku ketiduran. Kutatap laptop-ku, asal dari suara nyaring itu. Hmm, rupanya aku mendapat straight lagi di Texas Hold ‘em Poker yang sedang kumainkan. Namun tiba-tiba hilang semangatku untuk bermain poker lagi. Aku sign out dari poker. Haaah.. Kutarik napas panjang. Napas panjang dan berat yang sudah selama dua tahun ini selalu kutarik jika sedang bernapas. Dengan berat aku berjalan ke arah tempat tidur. Kutatap kasur empuk berseprai kotak-kotak hijau. Mataku sudah berat tapi tak ada niat sedikitpun untuk merebahkan tubuh di situ. Namun demi menjaga pesan dari dia untuk selalu menjaga kesehatan, aku pun beristirahat di kasur. Namun, aaaw, apa ini? Sakit sekali rasanya seperti tiduran di batu! Astaga, aku terbaring di atas handphone N70 ku. Aaah, semakin membuat niat tidurku berkurang saja. Jariku menekan tombol untuk membuka kunci handphone. Ada pesan. Kubuka pesan yang ternyata dari Arief. “Cuy, kenapa sign out dari poker? Aku sebentar lagi mengalahkanmu, dodol! Ayo cepat main lagi, pokerface!” Argh Arief, dasar bocah gendeng. Kubalas dengan ketikan jempol cepatku, ”Malas ah cuy, aku udah main semalaman, tak tahan aku ingin tidur. Besok sajalah kita lanjutkan pertarungan kita!” Dasar Arief gendeng. Bocah itu sudah kecanduan poker rupanya. Awalnya dia tidak ingin namun berkat rayuan mautku dua hari yang lalu sewaktu di game net, luluh juga bocah itu. Tangan kananku meraba-raba kasur sebelah kanan, berusaha menemukan bantal hijau bulukanku. Ke mana sih bantal itu? Rupanya terjatuh di bawah kasur. Terpaksa aku harus merangkak ke bawah kasur untuk mengambilnya. Aduh, malasnya. Kupaksa badan seberat 68 kg ini untuk bangun. Saat aku membungkuk untuk mengambil bantal tiba-tiba ada penglihatan yang terasa amat familiar terlintas. Bayangan tubuhnya sekilas melintas dalam benakku, untuk keseribu kali mungkin dalam 2 tahun ini. Rambut hitam yang dulu kukenal, wajah manis yang dulu kukenal, aku bertemu lagi meski hanya dalam penglihatan. Aku terduduk seketika di lantai. Untuk 2 menit pertama aku hanya diam, menit berikutnya sudah kubenamkan wajahku ke bantal hijau. Haah..haah..haah.. Suara napasku yang tersengal beradu dengan derap lariku di tengah jalan sempit yang tergenang hujan. Sudah dipastikan telingaku tidak akan selamat lagi. Aku terlambat bangun hari ini. Lagi. Padahal aku sudah berjanji akan datang tepat waktu. Aku tidak bisa ternyata. Weker pemberiannya pasti akan masuk dalam daftar panjang omelannya. Aduh kasihan telingaku. Aku sampai di depan rumah bercat jingga. Aku pun membaca basmallah, berharap tidak akan terjadi sesuatu yang buruk padaku dan telingaku. Aku tak pernah merasa setegang ini saat akan masuk ke rumahnya. Aku sudah sering terjebak dalam masalah seperti ini, namun kenapa ini berbeda? Kutekan bel rumahnya, bel unik yang berbunyi nyaring “asalamuallaikum” jika ditekan. Sungguh bel yang religius. Pintu terbuka, keluarlah sosok mungil dengan rambut terkuncir manis. Tampang cemberutnya pun ternyata tak mampu mengalahkan pesona manis wajahnya. Wajah yang telah 3 tahun ini berhasil meluluhkan hatiku. “Ke mana aja pokerface? Nyasar ya? Lupa jalan ke rumah ini ya? Atau mau bilang alasan klise, maceet yank, gtu ?” Belum sempat aku menjawab gadis itu melangkah masuk ke dalam rumahnya. Aku tarik tangan mungilnya hingga ia berpaling lagi ke arahku. Aku menatap lurus matanya dan berkata, ”Maaf”, 4 rangkaian huruf yang telah menjadi senjata andalanku selama ini, ditambah dengan wajah memelas tentunya. Ia membalas menatapku, tapi kemudian langsung berpaling dan berjalan menjauhi aku yang sedang diam kebingungan. Ada apa dengan Kalila? Aku duduk di sofa kulit merah marun yang biasa kududuki kalau bertandang ke rumah ini. Dia ada di seberangku, sibuk mengutak-atik Blackberry Bold-nya yang berlapis kondom kuning. Dengan wajah yang cemberut. Aku jadi tidak enak hati. Sejenak aku berpikir, berusaha merangkai kata-kata yang pas untuk meluluhkannya lagi. “Yank, kamu kok belum siap-siap?” Hening, tak ada jawaban.“Yank?” Aku memanggil sekali lagi. Oh iya, aku belum mengeluarkan satu lagi jurus andalanku. Ini biasanya selalu berhasil dalam keadaaan seperti ini jika kuterapkan padanya.“Kalila Anggita Puspadewi?”.Sejurus kemudian ia mendongakkan kepalanya dari hadapan gadget canggih kesayangannya.”Apa?” Tuh, benar kan, dia pasti luluh seketika.“Kamu marah sama aku?” Aku menggeser dudukku hingga ke sofa di sebelahnya.“Kamu terlambat.” jawabnya lirih.“Terlambat apa?” Rasa tak enak hati kian menyergapku.“Acaranya udah mulai. Rencana aku gagal.”Aku mengelus punggung tangannya yang tergeletak lemas di lututnya. “Aku ga ngerti maksud kamu sayang.”Kalila mengambil napas panjang, sedikit terdengar berat. Aku gelisah, perasaanku amat tak enak, seperti akan ditelan bulat-bulat oleh Kalila.“Rencana ini udah aku pikirin dari sebulan lalu, sejak aku melihat flier yang aku dapat dari Ninda. Flier itu tentang acara Meet and Greet Apocalypse.”Aku tersentak kaget. Astaga, Apocalypse? Band metal kiblat musikku itu? Aku sudah mulai menyadari apa arah pembicaraan Kalila ini.“Aku udah pesan tempat untuk kita berdua. Aku udah siapin surprise buat kamu. Aku udah menyiapkan semuanya. Cuma untuk kamu. Tapi terlambat. Kamu tidak datang tepat waktu.” Kalila menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya. Oh bumi telanlah aku, aku tidak suka keadaan ini. Mengapa kebodohanku tak habis-habis? Sekali lagi aku membuat Kalila, gadis 16 tahun ini kesakitan secara hati karena aku. Aku membuatnya kecewa lagi. Aku merasa kotor. Aku bahkan tak berani memeluknya seperti biasa. Aku sadar ini semua fatal sekali. Kuberanikan diri untuk mendekatinya. Aku berlutut di hadapannya hingga aku dapat melihat jelas wajahnya. Bulir air mata menetes membasahi pipinya yang merah muda. Ia tak henti menggigit bibir bawahnya. Baru kali ini aku melihat wajah Kalila yang begitu kecewa. Baru kali ini juga aku merasa sangat amat bersalah. “Baru kali ini ya melihat wajah kecewa aku?” Ucapannya bergetar, air matanya semakin deras mengalir.Aku seperti tertusuk oleh kata-katanya. Astaga, sampai segitunya kah Kalila kecewa? Monster macam apa aku ini? Aku terus mengumpati diriku yang terlampau bodoh dan tidak peduli.“Kalila..” Aku menaikan wajahnya hingga kekecewaannya tergambar semakin jelas. Kalila balas menatapku. Tatapan yang mengandung cinta juga kecewa. Namun lebih banyak kecewa yang terlukis di wajah cantik itu.“Kalila, aku tidak tahu akan seperti ini. Aku menyesal..”“Kamu memang tidak pernah tahu apa-apa kan?” Kalila beranjak dari sofa tempatnya duduk. Ia berjalan meninggalkanku yang berlutut dan merasa bersalah menuju ke kamarnya.“Aku mau istirahat. Kamu tahu kan pintu keluar di sebelah mana?” Kalila berkata sambil terus berjalan membelakangiku.Aku hanya menatap punggungnya yang berjalan kian menjauh, hingga ia benar-benar sudah tidak terlihat. Aku terduduk lemas. Braak.. Aku menghantam setir mobil CR-V warisan ayah dengan lenganku. Aku merasa amat bodoh dan tak berguna. Baru saja aku mengecewakan orang yang seharusnya aku bahagiakan dan baru saja pula aku diusir dengan cara terpilu yang pernah ada. Ingin mati saja rasanya. Aku terus merenungkan kata-kata Kalila yang berhasil menggerogoti alam pikiranku dengan penyesalan. Kamu memang tidak pernah tahu apa-apa kan? Kalimat itu terus menerus membahana dalam hatiku. Terus berulang-ulang hingga tak terasa memiliki arti lagi. Aku berpikir keras. Ini tak boleh berlarut. Aku harus segera menebus kesalahanku sebelum semuanya terlambat. Kebelokkan setirku menuju pelataran parkir game net. Aku akan menemui Arief. Mungkinkah masih ada waktuYang tersisa untukkuMungkinkah masih ada cinta di hatimuAndaikan saja aku tahuKau tak hadirkan cintamuIngin kumelepasmu dengan pelukan.. Aku terbangun mendengar alunan lagu Tentang Cinta milik Ipank, lagu yang menjadi ringtone handphone-ku. Kuusap mataku sambil menguap lebar. Aku tertidur di lantai rupanya. Bantal hijauku masih ada di pelukanku, namun sekarang berhias “pulau” yang kubuat menggunakan air liur. Masih saja belum hilang kebiasaanku ini. Aku mengambil handphone yang tergeletak di kasur. Aku membuka menu message dan melihat ke dalam inbox-nya. Ada satu sms dari Arief. Bocah gendeng itu mengajakku bermain poker lagi. Aah, aku jadi sedikit menyesal telah membuat Arief jadi kecanduan bermain poker. Maaf kawan, aku benar-benar sedang tidak mood hari ini. Kubalas singkat sms Arief yang berisi penolakanku untuk bermain poker. Aku mendudukkan diriku di pinggir kasur. Kepalaku berat, akibat dari 2 tahun memanggul kenangan pahit tentang dia. Aku mencoba mengingat lagi mimpi barusan. Terasa nyata. Itu memang nyata dan pernah terjadi. Kira-kira 2 tahun silam. Kenangan pahit yang bercampur dengan rasa manisnya ingatan akan senyumannya. Aku membuka folder message di handphone-ku. Folder berjudul “Confession of A Coward” yang berisi hanya satu pesan. Pesan yang belum sempat kukirimkan untuk dia yang kucintai dan menyakitiku, Kalila. Mungkin bukan belum sempat kukirim, lebih tepatnya belum berani kukirim. Jika ada daya tangan ini bergerak,Ingin kuputarkan waktu agar kau kembaliJika mampu tubuh ini bernapas lagi,Aku akan berlari tuk ubah masa depan kitaAku ingin dicintai seperti matahariYang mencintai bumiAku ingin dirindukan seperti malamYang merindukan purnamaDan aku ingin selalu ada bersamamu Aku menggenggam erat handphone-ku. Tubuhku bergetar. Tergores lagi luka itu. Luka yang sudah setia selama bertahun-tahun mencakar-cakar hingga dasar ingatanku berdarah hebat. Aku tak bisa menangis sejak setahun ini, rupanya sudah kering air mataku menangisi kebodohanku. Sudah beribu maaf aku sampaikan kepadanya atas semua kegagalanku. Namun tak pernah sampai. Aku sudah benar-benar hilang komunikasi dengannya. Aku juga sudah mencari kemana-mana, namun sepertinya di memang sudah tak mau kenal denganku lagi. Aku memakluminya. Terlalu banyak kesalahanku padanya. Aku yakin dia juga sudah muak hanya dengan mendengar namaku saja. Ah, sudahlah. Aku tak mau terus-menerus terpuruk dalam keadaan ini. Aku beranjak menuju kamar mandi. Aku akan menemui Arief lagi. Aku turun dari mobil, terpampang di hadapanku plang lumayan besar bertuliskan “Arzz Game Net”. Aku masuk ke dalam. Aku celingukan mencari si bocah gendeng itu. Tadi dia bilang mau bermain poker kan, jadi pasti dia sedang nongkrong di sini. Nah itu dia, di bilik nomor 07, tersembul kepala brokoli si bocah gendeng Arief. Kuambil koran yang ada di sebelahku lalu kulipat menjadi tongkat. Aku memukul kepala brokolinya keras keras dengan koran itu.“Woy cuy!” Arief si bocah brokoli terperanjat ke belakang. Rupanya aku terlalu keras memukulnya dan benar-benar membuatnya terkejut. Terpampang wajah kesal Arief ketika ia mendongakkan kepalanya.“Kenapa kau getuk kepalaku ini, dasar kau pokerface! Aku hampir mati terkejut! Dasar monyong kali kau!” Arief ngedumel kesal. Aku terbahak-bahak melihat wajahnya yang tambah jelek saja.“Maaf kawan. Hanya bercanda aku.” Aku terkekeh-kekeh. Lucu benar kawanku ini.“Kau bilang kau malas datang ke sini? Kenapa kau malah menunjukan tampangmu di depanku? Dasar pokerface sejati kau!”“Hei sabarlah dulu Rief. Aku minta maaf. Tadi itu tiba-tiba saja aku rindu padamu.” Kugerakkan alisku naik turun dan kuraba lengan Arief. Mencoba membuat tampangku ini menjadi sebanci mungkin.“Hoi stop stop! Jangan membuatku ngeri sama kau ya! Lepaskan tanganmu dari lenganku!” Arief menepis tanganku dari lengannya. Rupanya aku berhasil membuat dia jadi ngeri betulan padaku.“Ah mas Arief, situ jadi cuek sama eike, ga inget apa eike lagi mengandung anak situ 10 bulan? Hahahhahhaaa!” Tak bisa kutahan lagi tertawaku. Memang paling seru mengerjai temanku satu ini.Dengan tampang yang masih jijik dan ngeri Arief masih berusaha menepis tanganku yang tak mau lepas dari lengannya.“Hahaha, aku hanya bercanda Rief. Aku ini masih normal, masih menyukai wanita. Biarpun aku terakhir mencintai seorang wanita sudah lama sekali.” Aku menepuk-nepuk kepala brokolinya.“Kau masih belum bisa melupakan Kalila rupanya. Sudahlah, Yan, tidak baik menyimpan kenangan buruk itu. Jangan sampai kau jadi terlarut dalam cerita sedihmu. Aku tak mau sahabatku ini menjadi Alfian yang tidak mau melihat masa depan, kau tak boleh terus menatap masa lalu.” Ekspresi Arief berubah menjadi serius. Ini yang kusuka dari persahabatanku dengan Arief. Ia bisa menjadi sangat bijaksana jika sedang ada masalah dengan diriku. Tak salah aku menjadikannya sahabat sejak SD.“Iya Rief, aku tahu tentang itu. Kau sudah memperdengarkan ceramahmu itu berulang kali padaku hingga telinga ini ingin berdarah rasanya. Namun sekeras apapun aku mencoba aku tetap tak bisa menghilangkan bayang-bayangnya dari pikiranku. Ditambah lagi dengan “anugrah” ini, semakin mempersulit usahaku untuk melupakan Kalila.” Aku berkata dengan suara yang lemah. Terlihat sekali saat itu aku sedang putus asa.“Kau bertemu dia lagi, Yan?” Arief menggeser duduknya hingga berjarak hanya 5 senti dari tempat aku duduk. “Iya, kemarin sewaktu aku hendak tidur. Aku melihat penglihatan tentang Kalila lagi. Terasa nyata hingga aku tak bisa berkutik dan akhirnya tertidur. Dan dalam tidurku Kalila hadir lagi dengan sangat nyata. Itu mimpi yang dulu pernah benar-benar terjadi kira-kira 2 tahun yang lalu. Saat aku berbuat kesalahan yang fatal dan menjadi awal dari semua kehancuran ini.” Aku menatap ke karpet game net, tempat aku duduk sekarang. Game net ini memang bergaya lesehan. Konsep yang sangat tidak nyaman menurutku karena kakiku mudah sekali kesemutan jika tidak duduk di kursi atau semacamnya. “Ya sudahlah, Yan. Jangan kau biarkan masalah ini menggerogoti akal sehatmu. Tetap jaga kewarasanmu ya, aku tak mau berteman dengan orang gila yang mengejar cinta yang tak pasti seperti itu. Kau harus janji untuk selalu datang padaku jika hatimu gundah. Ceritakan semua masalahmu, insyaallah aku bisa membantu.” Arief mencengkram bahuku, penuh kelembutan seorang sahabat. Aku tersenyum lega, semua uneg-uneg yang sedari tadi membuatku gelisah jadi hilang perlahan karena telah kubagi dengan Arief. “Terima kasih Rief. Jika tidak ada kau pasti aku sedang kebingungan mencari teman curhat. Bisa-bisa program berhenti merokokku menjadi kacau.” Aku tersenyum menatap Arief. “Tapi ini tidak gratis, Yan. Kau harus lunasi dulu hutangmu bermain poker bersamaku. Ayo jangan berusaha berkelit lagi kau!” Wajahku berubah menjadi cemberut. Aku benar-benar sedang tidak mood. Tapi sepertinya aku memang tidak bisa berkelit lagi. Aku pindah ke bilik nomor 06 yang kebetulan kosong. Hati-hati kawan, sang pokerface akan mengalahkanmu. Apa ini? Kenapa banyak cahaya di sekelilingku? Aku ada di mana sekarang? Tak ada gunanya terus bertanya, kususuri saja jalan setapak di hadapanku. Jalan ini ditumbuhi rumput-rumput liar yang cukup tinggi. Agak seram, namun berkat cahaya ini aku dapat melihat jalan dengan jelas. Aku terus berjalan hingga kurang lebih sepuluh menit, namun yang ada di hadapanku tetaplah hanya jalan setapak dengan rumput-rumput tinggi. Aku mulai berpikir ada yang tidak beres dengan jalan ini. Apakah ini ilusi atau jebakan? Namun siapa yang mau repot-repot membuat jebakan seperti ini hanya untuk mengerjaiku? Aku putuskan untuk berhenti sejenak. Kurogoh saku celanaku untuk mengambil handphone. Namun ternyata tidak ada sinyal sama sekali. Tempat apa sih ini? Dengan kesal kutendang kerikil yang berada paling dekat dengan kakiku. Kalau sedang gusar begini aku ingin sekali menghisap sebatang rokok Dunhill kesukaanku, tapi sayangnya aku sedang menjalani program berhenti merokok. Aku tidak ingin menghabisi nyawaku perlahan dengan benda itu. Tiba-tiba aku mendengar seperti suara wanita yang sedang bersenandung. Aku merasa pernah mendengar suara itu. Suara itu begitu lembut, seolah menyihir pendengarnya untuk tidur. Suara itu berasal dari belakangku, di seberang sebuah sungai kecil. Di seberang sungai itu berdirilah sang empunya suara merdu itu, seorang wanita berambut hitam panjang. Aku terpaku seketika melihat wanita itu. Air mataku meleleh. Itu Kalila. Aku memanggil-manggil namanya dan melambai-lambai ke arahnya. Betapa rindunya aku pada sosok itu. Sudah tak terhitung seberapa seringnya aku memimpikan saat seperti ini. Kalila menoleh ke arahku dan tersenyum. Manis sekali senyumnya. Aku memintanya untuk menungguku di situ sebab aku akan menyebrangi sungai ini. Namun Kalila menggelengkan kepalanya, ia menyentuhkan telunjuknya pada bibirnya yang tertutup rapat. Aku mengerti maksudnya namun aku tidak ingin mengerti, Aku tetap bersikeras ingin menghampirinya. Kalila menggeleng, wajahnya terlihat amat sendu. Bibirnya berucap sesuatu, namun tidak ada sedikitpun suara yang terdengar. Kalila terus berucap sesuatu namun tak aku mengerti gerak bibirnya. Perlahan cahaya datang dan menutupi tubuh Kalila. Kini aku tak bisa melihatnya sama sekali. Aku meneriakkan nama Kalila berulang-ulang. Kenapa ia menghilang tiba-tiba di saat aku berada hanya beberapa meter darinya. Aku pun berteriak kencang karena kesal. Aku terbangun di kamar Arief. Napasku tak karuan. Keringat mengucur deras dari tubuhku. Aku bermimpi. Mimpi ini berbeda dari biasanya. Ini sangat memilukan. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Aku merasakan rindu yang teramat sangat pada Kalila. Arief masuk ke kamar. Tangan kanannya memegang pitcher berisi air dingin dan tangan kirinya memegang dua gelas beling. Ia menatapku keheranan dan bertanya, “Ada apa dengan kau, Yan? Seperti habis melihat hantu saja.” Ia menaruh pitcher dan gelas di atas meja. Ia lalu duduk di hadapan komputernya dan mengetik sesuatu. “Aku mendapat mimpi tentang Kalila lagi.” Arief langsung memutar kursinya hingga menghadap ke arahku. “Ceritakanlah kawan.” Aku mulai menceritakan isi mimpiku. Arief mendengarkan dengan seksama. Tak sedetikpun ia mengalihkan pandangannya dariku, seperti tak ingin melewatkan satu detail ceritapun tentang mimpiku ini. Begitu aku selesai bercerita Arief mengisi gelas dengan air dingin dan memberikannya padaku. “Ini, minumlah dulu. Tenangkan dirimu.” Aku meminum habis air di gelas dengan sekali teguk. “Aku sama sekali tak bisa mendengar apa yang diucapkan Kalila. Bahkan aku tidak bisa membaca gerak bibirnya. Aku terlalu dibutakan dan ditulikan oleh rasa rinduku padanya.” Dengan sedih aku menatap mata Arief, aku berusaha memberitahukan padanya kesedihanku ini. Tapi sepertinya itu tidak perlu, Arief pasti sudah bisa membacanya. “Mungkin ini petunjuk untukmu. Kalila berusaha memberitahumu sesuatu. Namun kita tidak tahu itu apa. Satu-satunya jalan adalah dengan mengandalkan anugrahmu itu.” Arief berkata kepadaku. “Namun bagaimana caranya? Kau tahu kan aku tidak pernah mengetahui cara menggunakan anugrahku ini.” Arief berkata lagi, ”Tunggulah, aku yakin jika kau sabar menunggu pasti akan datang kejelasan tentang mimpimu ini. Kau harus bersabar menunggu.” Aku semakin merasa putus asa. Aku mencoba menebak-nebak apa yang dikatakan Kalila di mimpiku. Namun aku tetap saja tidak mendapat kejelasan apa-apa. Mungkin Arief benar, aku harus menunggu. Malam ini aku menginap di rumah Arief. Dengan keadaanku yang sedang kacau ini aku tidak berani sendirian di rumah. Aku takut aku tidak bisa mengontrol diriku untuk tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Aku sudah sangat sering menginap di sini, lebih tepatnya membantu menghancurkan rumahnya. Arief tinggal sendirian, meski begitu dia sangat menjaga kebersihan tempat tinggalnya. Arief sangat menyukai kerapian, bertolak belakang sekali denganku. Bisa dibilang aku adalah mimpi buruk Arief. Aku duduk di depan komputer, sibuk melihat-lihat foto-foto Arief bersama keluarga dan mantan pacarnya dulu. Berbeda dengan aku, Arief sendiri yang memutuskan hubungannya dulu dengan pacarnya. Nama pacarnya adalah Sartika Cita Ananda. Padahal Sartika sangat pengertian sekali terhadap Arief, namun entah kenapa Arief memutuskan begitu saja kisah cinta mereka. Sampai kini Arief belum mau berterus terang tentang alasannya memutuskan Sartika, bahkan kepadaku, sahabatnya sendiri. Biarlah itu menjadi rahasia kelamnya. Arief memanggilku dari dapur, saatnya makan malam. Menu malam ini adalah masakan khas mahasiswa perantauan kekurangan dana, mie instan dan telur setengah matang. Meskipun aku selalu makan 4 sehat 5 sempurna hasil racikan Mbok Ilah, tapi aku tidak pernah keberatan makan makanan seperti ini. Kami berdua makan dengan lahap sambil bersenda gurau. Malam ini aku berencana begadang untuk bermain bola di XBOX milikku yang kutitip di sini. Besok kebetulan tidak ada kuliah untukku dan Arief. Aku menyeduh kopi untuk kami berdua. Kopi susu Arief dan kopi pahit untukku. Kami bermain hingga pukul 01.00. Aku sudah 3 kali dikalahkan Arief. Hebat benar bocah ini. Mungkin sejak kutitipkan XBOX ini padanya dua minggu yang lalu dia jadi sering berlatih memainkan bola di XBOX. Padahal awalnya Arief bermain seperti anak kecil kekurangan vitamin D, sangat lemah dan payah. Namun sekarang Arief sudah berubah menjadi ksatria bola XBOX. Sungguh ngeri aku dibuatnya. Setelah kekalahan telakku yang keempat, aku memutuskan untuk tidur. Aku mengelak sewaktu Arief mengataiku telah mengakui kehebatannya. Aku ngotot menjelaskan kalau aku tidur karena ngantuk. Tanpa mempedulikan cacian Arief aku pun tidur. Aku terbangun oleh suara derap langkah kuda yang menghampiriku. Aku terkejut dan heran, apa yang dilakukan seekor kuda di sini? Aku juga sedang apa di sini? Kali ini aku sadar aku sedang bermimpi. Ini mungkin saja mimpi yang akan menjadi petunjukku selanjutnya. Aku mengelus rambut kuda coklat ini. Tiba-tiba saja ada kekuatan yang seperti menyuruhku untuk menaiki kuda ini. Aku naik ke atasnya dan kuda berjalan sendiri tanpa kutuntun. Sepertinya kuda ini sudah tahu harus ke mana mengantarku. Aku berada di tengah hutan, sedikit gelap namun sangat sunyi. Seperti tidak ada kehidupan di hutan ini. Kuda terus bejalan menaiki bukit. Sampailah aku pada pinggir sebuah tebing. Aku turun dari kuda. Aku terpukau oleh pemandangan dari atas tebing ini. Saat aku menoleh ke belakang, tidak kudapati kuda itu di manapun. Kuda itu menghilang seperti asap. Aku berusaha tidak mempersoalkan ke mana kuda itu pergi. Aku kembali melihat pemandangan dari atas tebing ini. Sangat menakjubkan. Mataku benar-benar dimanjakan oleh pesona keindahannya. Belum selesai aku terpana tiba-tiba senandung Kalila terdengar lagi. Aku mencari-cari asal suaranya, tapi tidak ada di mana pun. Aku mencari tanpa mempedulikan langkahku. Aku tak tahu bahwa di belakangku ada tebing yang sangat licin karena ditumbuhi lumut. Aku terus mundur sampai akhirnya aku tergelincir dan meluncur menuju dasar tebing. Aku berteriak kencang. Teriakanku berlanjut sampai aku bangun. Arief yang masih bermain XBOX sontak terperanjat mendengar lengkingan suaraku yang ketakutan karena mimpi buruk. Aku terduduk dengan napas yang tersengal-sengal. Aku langsung menceritakan mimpiku lagi pada Arief. Arief mengambil kesimpulan bahwa itu adalah petunjuk untuk menjelaskan apa yang waktu itu dikatakan Kalila di mimpiku sebelumnya. ”Kita harus menemukan tempat yang kau lihat di mimpimu itu.” Aku dan Arief bergantian mandi dan bersiap-siap. Kupanaskan mobil CR-V-ku. Aku dan Arief pun pergi menyusuri tempat yang kami anggap mirip dengan tempat yang kudatangi di mimpi. Kami bertanya pada orang-orang di jalan. Sudah sekitar 3 hutan kecil yang memiliki tebing yang sudah kami datangi. Kami mencari di daerah Puncak. Aku terus berusaha mengingat tempat apakah itu. Aku memang merasa sedikit familiar dengan hutan dan tebing itu, tapi aku tidak kunjung menemukan petunjuk apa-apa. Karena sudah lelah kami memutuskan untuk beristirahat di villa milikku yang kebetulan berada di dekat situ. Aku menelpon pengurus villa-ku, seorang lelaki tua bernama Pak Sulaiman dan memintanya untuk merapikan villa karena akan aku pakai. Aku sampai di depan villa. Pak Sulaiman membukakan pintu gerbang dan menyapaku dengan ramah. Kumisnya bergerak-gerak seiring dengan ia tersenyum. Aku memarkirkan mobilku ke dalam garasi. Sudah setengah tahun sejak aku terakhir kali ke sini bersama ayah, ibu, dan Sekar, adikku. Masih belum berubah. Tamannya pun terlihat sangat terawat. Rupanya Pak Sulaiman benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Aku merebahkan diri di sofa kulit di ruang tengah, begitu juga dengan Arief. Aku benar-benar lelah dengan pecarian yang tidak pasti seperti ini. Namun aku harus tetap berusaha mencari kejelasan. Kasihan Arief, akibat mengikuti sahabatnya yang gila ini ia harus ikut merasakan lelah. Aku meminta Pak Sulaiman menyiapkan air panas untuk aku mandi. Arief tertidur pulas di sofa, ia sangat kelelahan karena sebelumnya ia tidak tidur semalaman. Aku memakluminya. Aku masuk ke kamar untuk mengambilkan bantal dan selimut untuk Arief. Kamarku di villa ini sangat istimewa, karena dari jendelanya kita dapat melihat pemandangan indah khas Puncak. Aku tertarik untuk melihat ke luar jendela sebentar sebelum mengambil bantal dan selimut. Aku masuk ke balkonnya dan mulai meregangkan tanganku untuk menikmati udara segar pegunungan. Kuhirup dalam-dalam udaranya. Kapan lagi aku bisa mendapat pasokan oksigen murni untuk paru-paruku. Di kota besar mana bisa seperti ini. Kuedarkan pandanganku ke pemandangan di hadapanku. Tiba-tiba ada penglihatan yang melintas di pikiranku. Penglihatan tentang bukit yang ada di mimpiku serta senandung Kalila. Aku terpaku sejenak, berusaha berpikir apa maksud semua itu. Tiba-tiba aku sadar kalau di belakang villa-ku ini ada bukit dan tebing. Aku bergegas ke belakang villa. Niatku untuk mengambilkan selimut untuk Arief langsung lenyap tanpa kusadari. Aku sampai di hutan belakang villa. Tempat ini persis dengan apa yang aku datangi di mimpi, bedanya tidak ada kuda di sini. Aku berusaha mengingat ke mana aku harus pergi agar sampai di tebing itu. Kususuri hutan kecil yang sunyi ini. Tibalah aku pada bukit dari mimpiku itu. Aku sempat mengucek-ucek mataku karena tidak percaya. Namun ini nyata. Aku berjalan mendekati tebing. Aku melihat pemandangan yang sama dengan yang kutemui di mimpi. Dan tiba-tiba ada penglihatan lagi. Aku berada di tepi sungai dan Kalila ada di seberangnya. Aku melihat ia tersenyum ke arahku. Aku sama sekali tidak bisa bergerak, aku seperti membatu dan tidak dapat bicara sepatah kata pun. Kalila berbicara lagi, dan kali ini suaranya terdengar sangat merdu dan jelas. “Alfian, sudah ada yang dipersiapkan Tuhan untuk menggantikan aku. Sudah saatnya kamu menghapus semua ingatan dan kenangan pahit tentang aku di masa lalu. Sekarang sudah ada dia yang akan membuatmu bahagia. Dia adalah Juliette untuk Romeo-mu yang telah haus akan cinta. Kamu akan bertemu dengannya kelak dan ia akan menggantikan aku.” Penglihatan itu hilang. Aku jatuh berlutut, terkejut dengan apa yang kulihat barusan. Aku tidak mengerti, sangat tidak mengerti apa maksud perkataan Kalila. Aku melangkah gontai menuju villa kembali. Arief belum bangun, bahkan posisi tidurnya sama sekali belum berubah. Kuambilkan bantal dan selimut dan memakaikannya pada tubuh Arief. Aku memutuskan untuk pergi ke café di dekat villa. Café dengan mountain view yang selalu kukunjungi jika berlibur ke villa. Aku memesan Hot Caramelite. Aku termangu dengan wajah yang ditopang tanganku sambil menatap pemandangan di luar. Aku terus memikirkan Kalila. Apa maksudnya dengan sudah ada yang dipersiapkan Tuhan untuk menggantikan dia? Kalaupun benar aku bahkan tidak diberitahu nama wanita itu. Aku bingung dan gelisah. Ingin rasanya aku terjun bebas ke tebing dan mati, agar aku tak perlu terjebak dalam situasi seperti ini. Seorang pelayan wanita menghampiriku. Ia menaruh pesananku di atas meja dan berkata selamat menikmati padaku. Aku tertarik dengan suara merdu itu sehingga aku berpaling ke arahnya. Di hadapanku berdiri seorang wanita muda dengan tinggi sekitar 160 senti. Ia memakai ikat kepala biru di atas rambutnya yang pendek namun memesona. Ia memakai seragam café yang malah membuatnya terlihat lebih menarik. Untuk beberapa saat aku terpana dengan apa yang aku lihat saat ini. Aku seperti diterpa angin segar di tengah kegersangan hatiku yang kehausan akan cinta dan petunjuk. Aku tahu namanya Ratih, tertulis di name tag di seragamnya. Ratih kebingungan melihat tingkah pelanggannya yang sangat tidak biasa. Ia buru-buru mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkanku yang masih terpana. Astaghfirullah, kenapa aku ini. Kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda sewaktu melihat gadis itu. Aku baru sekali bertemu dengannya tapi aku merasa sudah sangat mengenal bahkan menyayanginya. Aku tidak berusaha menyangkal perasaan ini. Aku yakin ini lah dia yang dimaksud oleh Kalila dalam penglihatanku tadi. Kutinggalkan Hot Caramelite-ku begitu saja dan langsung menuju ke mobilku dan meluncur menuju villa. Arief yang sedang menonton televisi kontan menanyaiku, ”Habis dari mana juragan? Kau pergi tapi tidak mengajakku. Aku kebingungan sendiri di sini. Untung ada Pak Sulaiman yang menawariku untuk makan. Kuhabiskan saja seluruh isi kulkasmu. Kau habis dari mana, Yan?”. Aku hanya tersenyum penuh arti. Terlihat ekspresi bingung dari kawanku si bocah brokoli gendeng itu. Aku melangkah masuk ke kamar. Aku menyibakkan gorden yang menutupi jendela. Entah kenapa aku ingin sekali menikmati pemandangan malam Puncak. Tak kusangka aku akan bertemu semuanya di sini, petunjuk, penjelasan, bahkan aku juga bertemu dengan wanita yang ditunjukkan Kalila di mimpiku, Ratih. Aku bertekad akan berkenalan lagi dengannya dan menjalin hubungan dekat dengannya. Aku percaya bahwa pilihan Tuhan tidak akan salah. Aku merasa sangat lega sekarang. Beban yang kupanggul selama 2 tahun sudah hilang. Napasku bahkan tidak berat lagi, sudah sangat ringan ditambah dengan hawa sejuk pegunungan. Aku sudah kembali menjadi Alfian Putra Utama yang dulu. Sepertinya sudah saatnya hatiku pulang dari tempat yang gelap ke tempat yang terang. Aku tersenyum lega. Udara dingin Puncak malam hari memaksaku untuk masuk. Aku memutuskan untuk menyudahi hari ini dan beristirahat sembari menanti hari esok tiba. Aku tidak akan lagi menangis. Aku tidak akan lagi tersiksa dengan luka. Sudah saatnya hatiku pulang dari tempat gelap kembali ke tempat yang terang. Aku mundur teratur, di bawah selimut mencoba lebih tertidur. Kalila, aku sudah bisa melupakanmu.
0 Responses